Konflik antara Hukum Konstitusi dan Hukum Biasa di Indonesia seringkali menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi ketika keputusan pengadilan yang didasarkan pada hukum biasa bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, seorang pakar hukum konstitusi, konflik antara hukum konstitusi dan hukum biasa dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara kedua jenis hukum tersebut. “Hukum konstitusi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan hukum biasa, sehingga jika terjadi konflik, keputusan yang harus diambil seharusnya mengacu pada konstitusi,” ujar Prof. Jimly.
Salah satu contoh kasus konflik antara hukum konstitusi dan hukum biasa adalah terkait dengan hak asasi manusia. Menurut Pasal 28 UUD 1945, setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan diri. Namun, seringkali dalam praktiknya, hak-hak tersebut diabaikan oleh aparat penegak hukum yang lebih mengutamakan kepentingan hukum biasa.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, seorang pakar hukum tata negara, penyelesaian konflik antara hukum konstitusi dan hukum biasa seharusnya dilakukan melalui dialog dan negosiasi. “Penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk duduk bersama dan mencari solusi yang sesuai dengan konstitusi serta keadilan,” ujar Yusril.
Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya mampu menyelesaikan konflik antara hukum konstitusi dan hukum biasa dengan bijaksana dan proporsional. Hal ini penting agar keadilan dan kedaulatan hukum dapat terwujud secara menyeluruh dalam sistem peradilan di Indonesia.